Rabu, 15 Agustus 2012

Mengajak Teman Masuk Kristen Malah Menunjukkanku Pada Islam




Islam adalah doktrin yang paling logis yang tidak akan pernah ditemukan di agama lainnya

Namaku Rasheed. Aku berasalah dari Florida, Amerika. Usiaku 24 tahun. Aku masuk Islam pada Desember 2004, saat itu aku baru berumur 17 tahun. Saat ini ku bekerja sebagai tekhnisi lab mata.

Aku ingin bercerita tentang bagaimana aku masuk Islam, dan mungkin memberikan sedikit nasehat bagi mereka yang tengah mencari jalan hidupnya, InshaAllah.

Sama seperti anak gereja kecil lainnya, aku dibesarkan di Gereja Baptis daerah Selatan. Aku rajin mengunjungi gereja secara rutin, mempelajari injil dan melakukan pelayanan, jadi ku tahu kitabku. Aku tidaklah pintar, tetapi cukup mengetahui untuk seorang anak berusia 13 hingga 17 tahun ketika ku mempelajari agamaku.

Bagaimana Persepsiku Terhadap Islam

Sebelum memeluk Islam, aku sangat mengimani kepercayaan kristen akan trinitas, sebagaimana seorang Baptis dari Selatan, dan aku sangat teguh dengan kepercayaan ini. Aku tidak mengetahui banyak tentang Islam untuk memiliki pendapat. Ku pikir waktu itu semacam ketidakacuhan diri karena bagaimana media memberitakan tentang Islam. Sehingga ku tak ingin mengetahui Islam, ku takut akan apa yang mungkin aku pelajari. Jadi ku berpikir sebagaimana yang diberitakan oleh media pada dasarnya.

Mengetahui bahwa orang terdekat meninggalkan kepercayaan yang sangat aku cintai, sangat membuatku tersinggung.
Ku tidak tahu banyak tentang Islam, tetapi sebenarnya aku telah melakukan pekerjaan yang adil terhadap agama lain seperti budha, hindu dan hal itu kulakukan murni karena ketertarikan dan rasa ingin tahu terhadap budaya timur. Karena dibesarkan dengan kepercayaan kristen, mempelajari alkitab sehingga kita akan mendapatkan informasi dasar tentang Yahudi karena Perjanjian Lama tercantum dalam alkitab. Jadi, ku tahu sedikit mengenai Yahudi, hal-hal dasar tentang Hindu dan Budha, Taoisme meski tidak banyak, dan sedikit Shinto. Sehingga awalnya ku melihat dan mengetahui dasar-dasar agama-agama besar lainnya.

Ku tak pernah melakukan perjalanan untuk mencari kebenaran, karena dibesarkan di gereja secara teguh seperti yang kujalani, ku berpikir bahwa aku sudah menemukan kebenaran. Jadi yang sebenarnya terjadi adalah ada seorang teman sekolah yang ingin berpindah agama, saat itu kami adalah teman baik. Tetapi dibesarkan di lingkungan kristen, dan kemudian mengetahui bahwa seorang teman yang sama-sama bersekolah bersama meninggalkan agama yang kucintai, benar-benar membuatku terpukul mengapa ia memilih meninggalkan agama ini. Akhirnya aku menganggap hal itu secara pribadi seperti layaknya ku melakukan perang salib untuk membawanya kembali ke gereja, memberikannya kesaksian dan segala halnya, tapi tanpa mengetahui apapun tentang agama yang ia anut sekarang.

Aku melakukan usaha terbaikku, dan melalui apa yang harus kulakukan akhirnya yaitu meneliti Islam sendiri dan dengan bertanya padanya juga, sebagaimana nanti kita akan melakukan berbagai debat tentang doktrin-doktrin. Akhirnya kami banyak melakukan diskusi, dia banyak mengajariku berbagai hal tentang Islam, dan ku tak dapat berkata banyak karena ku tak mengetahui sebelumnya, semua hal tampak masuk akal bagiku, dan ku tak bisa berkata-kata. Ketika hal ini berlangsung, sebenarnya adalah misiku untuk membawanya keluar dari Islam, namun justru aku yang tertarik pada Islam, Alhamdulillah.

Yaa, aku tidak pergi mencari kebenaran seperti kebanyakan orang. Tetapi kukira Allah menunjukkanku pada Islam dengan cara-Nya, Alhamdulillah.

Hidup Setelah Islam

Ku bisa benar-benar jujur dan berkata bahwa hidupku belum sepenuhnya berubah karena bagaimana ku dibesarkan, seperti sering pergi ke gereja. Gaya hidupku tidak berubah banyak. Aku hanya menjalani ibadah-ibadah harian dan berhenti memakan babi.Ku tidak menikmati alkohol pada saat itu, sehingga ku tak perlu benar-benar meninggalkannya.

Mempercayai Tuhan dalam konsep trinitas aku selalu menerimanya karena itu yang kita percayai, tetapi au tidak memahaminya. Jadi jika kau tidak memahami akan sesuatu, bagaimana mungkin kau dapat mengatakan bahwa kau mempercayainya?
Aku dapat mengatakannya dengan percaya diri bahwa ku tak pernah benar-benar percaya pada Konsep Tuhan yang tiga. Ku percaya adanya Tuhan, tetapi yang berubah adalah kepercayaanku terhadap Yesus, semoga keberkahan selalu bersamanya, dalam hubungannya terhadap Tuhan dan juga terhadap kita. Itulah yang benar-benar berubah.

Jalan Hidup Yang Lengkap

Jangan khawatir dan letakkan kepercayaan kita pada Tuhan.
Dari lubuk hatiku yang harus kukatakan adalah lakukan saja, karena menurutku berbicara dengan alasan adalah satu-satunya cara dalam hidup yang harus orang ikuti. Ini adalah cara hidup yang paling lengkap yang tak akan ada di agama lainnya. Islam adalah ajaran yang paling logi, dan cara hidup yang dianjurkan sekaligus diperintahkan oleh Tuhan adalah cara hidup yang sempurna.

Saran saya hanya untuk memastikan bahwa apa yang Anda inginkan untuk diri Anda, lakukan saja. Jangan khawatir dan simpan kepercayaanmu pada Tuhan. Dan juga, jika Anda telah memiliki teman muslim dan saling berkomunikasi, mintalah padanya untuk mengajarkan Anda tentang Islam. Dan jangan malu untuk memintanya mengajak Anda ke mesjid yang biasa ia kunjungi dan berbicara dengan Imam atau dengan orang yang memiliki pengetahuan lebih tentang Islam dalam jemaah mereka.

Bagi Anda yang telah memutuskan untuk mengambil jalan ini, Selamat! Anda akan selalu ada dalam doa saya agar selalu diberi petunjuk dan kesuksesan di dalam hidup ini dan juga di akhirat kelak, kehidupan yang sesungguhnya.

Saran saya lainnya, waspadalah dari mana Anda mendapat informasi. Jangan terburu-buru bergabung dengan sebuah sekte yang menggembar-gemboran berbagai slogan dan hal lainnya. Pelajarilah informasi yang didapat, secara perlahan-lahan, ini adalah awal dari jalan kebenaran. Anda baru saja mulai. Anda tidak akan mendapat kebenaran yang utuh hanya dalam setahun. Gunakanlah waktu Anda. Pastikan untuk selalu memurnikan niat Anda, dan apapun yang kita lakukan hanya untuk Allah dan untuk beribadah pada-Nya.

Saudaraku seagama, dan semoga juga saudara-saudara muslimku yang baru, ku berharap apa yang kusampaikan dapat bermanfaat dalam cara apapun, IshaAllah, dan menginspirasi untuk memeluk Islam dan terus istiqomah dalam jalan ini.

Bersedekah Bisa Menghindarkan dari Kecelakaan Tragis Saat Mudik



Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulullah -Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Cuaca ekstrim ancam pemudik di Jawa. Siang hari sangat panas dan malam begitu dingin. Kondisi ini sangat rentan bagi pemotor. Ini sangat menguras tenaga dan konsentrasi para pemudik. Akibatnya, kejadian yang tidak diinginkan seperti kecelakaan dapat menimpa pemudik. Karena itu para pemudik haruslah lebih menyiapkan bekal dan tawakkal yang lebih untuk mudik di tahun ini.
Bekal materi dan safety riding sangatlah penting. Itu bagian dari sebab yang dibenarkan syariat untuk diusahakan agar terhindar dari kemungkinan buruk seperti kecelakaan tragis. Namun doa juga tak boleh lupa. Sebab, apa yang terjadi di muka bumi tak lepas dari iradah dan izin Allah Ta'ala. Maka jika seorang muslim berdoa kepada Allah (Penguasa alam semesta) meminta keselamatan, ia akan terhindar dari kecelakaan.
Ada lagi bekal yang sangat penting namun jarang dipikirkan. Yaitu sedekah. Mengeluarkan sedekah sebelum berangkat mudik sebagai wasilah untuk dihindarkan dari kecelakaan tragis di jalan. Karena di antara manfaat dari sedekah yang ikhlas, ia bisa menjadi sebab seseorang dihindarkan dari musibah, mara bahaya, bencana dan kematian buruk. Dan kecelakaan tragis di jalan adalah bagian darinya.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
اَلْمَعْرُوْفُ إِلَى النَّاسِ يَقِي صَاحِبَهَا مَصَارِعَ السُّوْءِ وَ الآفَاتِ وَ الْهَلَكَاتِ وَ أُهْلُ الْمَعْرُوْفِ فِي الدُّنْيَا هُمْ أَهْلُ الْمَعْرُوْفِ فِي الآخِرَةِ
"Berbuat baik kepada manusia menghindarkan pelakunya dari kematian buruk, musibah, dan kehancuran. Dan ahli kebaikan di dunia akan menjadi ahli kebaikan di akhirat." (HR. Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Dalam riwayat al-Tirmidzi dan lainnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda;
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ عَنْ مَيْتَةَ السُّوْءِ
"Sesungguhnya shadaqah benar-benar memadamkan kemurkaan Allah dan menghindarkan dari kematian buruk." (Hasan li Ghairihi)
Benar, shadaqah yang tulus ikhlas karena Allah menjadi sebab datangnya ridha Allah kepada hamba. Di mana ridha itu lawan dari ghadhab (marah/murka). Maka shadaqah memadamkan kemarahan Allah sebagaimana air memadamkan api.
Adapun maksud Maitatas Su' atau Mashari's Su' adalah mati di atas kemaksiatan. Sebagian ulama lain menyebutkan, maksudnya adalah kematian yang Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berlindung daripadanya, seperti: pikun, jatuh dari ketinggian, tenggelam, korban kebakaran, dan dikuasai syetan saat sakaratul maut, kabur dari medan jihad fi sabilillah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَرَمِ وَالتَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَمِّ وَالْحَرِيقِ وَالْغَرَقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَنْ أُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا
Ya Allah, sunguh aku berlindung kepada-Mu dari pikun, terjatuh dari ketinggian,  keruntuhan bangunan, kedukaan, kebakaran, dan tenggelam. Aku berlindung kepada-Mu dari penyesatan setan saat kematian, terbunuh dalam kondisi murtad dan aku berlindung kepada-Mu dari mati karena tersengat binatang berbisa.” (HR. Al-Nasai dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’: no. 1282)
Sebagian yang lain mengatakan, kematian yang datang tiba-tiba. Ada pula yang berpendapat, mati yang menghebohkan seperti disalib dan semisalnya. Namun ada satu kesimpulan dari kematian ini, yaitu kematian dengan kemurkaan Allah Ta'ala. Karena kematian yang buruk termasuk bagian hukuman dari Allah dan kemurkaan-Nya. Dari sini, maka shadaqah yang berasal dari harta yang halal dan ikhlas untuk Allah dengan tetap menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan meninggalkan larangan-larangannya bisa menghindarkan seseorang dari kematian yang buruk. Salah satunya, kematian karena korban kecelakaan tragis di jalan saat mudik lebaran.
Sesungguhnya shadaqah menghindarkan musibah karena ia menghapuskan dosa yang menjadi sebab datangnya murka dan siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu Ta'ala A'lam

Petunjuk Menunaikan Zakat Fitrah


Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, rahmat bagi semesta alam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.
Zakat fitrah adalah zakat/sedekah yang diwajibkan untuk dikeluarkan dengan selesainya puasa bulan Ramadhan. Hal ini sebagai pembersih bagi seorang shaim atas puasanya dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk. Di samping itu, juga sebagai bentuk belas kasih kepada orang-orang miskin agar mereka memiliki kecukupan saat hari bahagia (hari raya) sehingga tidak meminta-minta.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ ، وَالرَّفَثِ ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat 'Ied, maka terhitung sebagai zakat yang diterima; dan barangsiapa menunaikannya sesudah shalat, maka terhitung sebagai sedekah sebagaimana sedekah lainnya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan Imam al-hakim. Namun yang lebih kuat statusnya adalah hasan)
Siapakah yang wajib mengeluarkannya?
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan orang Islam. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menunaikan shalat ('idul Fitri)." (Muttafaq Alaih)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menerangkan dalam hadits di atas bahwa zakat fitrah diwajibkan atas semua orang Islam, besar ataupun kecil, laki-laki atau perempuan, dan orang merdeka atau hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil ditanggung zakatnya oleh walinya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju pada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang menanggung nafkahnya, ini merupakan pendapat jumhur ulama." (Fathul Bari 3/369; lihat at-Tamhid 14/326-328, 335-336).
Nafi' radliyallahu 'anhu mengatakan: "Dahulu Ibnu 'Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dulu, dia benar-benar menunaikan zakat anakku." (Shahih, HR. Bukhari)
Sementara budak –yang pada dasarnya tidak memiliki sesuatu sehingga Jumhur ulama berpendapat tidak wajib atasnya- ditanggung oleh tuannya, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurmadan satu sha' gandum atas setiap budak atau orang merdeka, anak kecil atau orang dewasa."
Demikian juga bagi budak/hamba sahaya, zakatnya diwakilkan oleh tuannya. (Fathul Bari 3/369).
Apakah selain muslim terkena kewajiban zakat?
Zakat fitrah hanya wajib atas orang muslim. Karena ia bagian dari ibadah dan pembersih bagi orang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan tercela. Oleh sebab itu, orang kafir bukan termasuk golongan yang wajib berzakat. Dan secara umum, Islam menjadi syarat diterimanya amal shalih seseorang, sehingga ia menjadi syarat menurut Jumhur ulama. Dan disiksanya mereka diakhirat hanyalah karena meninggalkannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Umar di atas, "dari kalangan orang Islam."
Bagaimana dengan anak yang kafir, apakah ayahnya yang muslim berkewajiban mengeluarkan zakatnya?
Jawabnya: Tidak. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan catatan pada ujung hadits di atas, bahwa kewajiban itu berlaku bagi orang Islam. walaupun dalam hal ini ada juga yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun, pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits.
Apakah janin wajib dizakatkan?
Janin tidak wajib dizakati. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah kepada anak kecil, sedangkan janin tidak disebut anak kecil, baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan ijma' tidak diwajibkannya zakat fitrah atas janin. Walaupun juga, ada yang berpendapat bahwa janin tetap dizakati. Seperti sebagian riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hazm dengan catatan bahwa janin tersebut sudah berumur 120 hari.
Pendapat lain dari Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits.
Orang tidak mampu apa wajib zakat?
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya." (Badai'ul Fawaid 4/33).
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, Imam asy-Syaukani  rahimahullah menjelaskan: "Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar zakat fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah)." (ad-Darari 1/365, ar-Raudhatun Nadiyyah 1/553, lihat pula fatawa Lajnah Daimah 9/369).
Dalam bentuk apa zakat fitrah dikeluarkan?
Dalam hal ini dijelaskan oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, berkata: "Kami memberikan zakat fitrah di zaman nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak 1 sha' dari makanan, I sha' kurma, 1 Sha' gandum, ataupun 1 Sha' kismis (anggur kering)." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata "makanan" maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri, bisa berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa'id yang lain, beliau mengatakan: "Kami mengeluarkan (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari 'Idul Fitri." Beliau mengatakan lagi, "dan makanan kami pada saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, kurma." (HR. Bukhari).
Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk memberikan makan bagi fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat.
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan buruk, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih jumhur (mayoritas) ulama.  Di antaranya pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Mundzir, Ibnul Qayyim, Ibnu Bazz, dan lainnya.
Ada juga pendapat yang membatasi zakat fitrah hanya dalam bentuk yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ini hanya salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Namun, pendapat ini lemah.
Bolehkah mengeluarkannya dalam bentuk uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Pendapat Pertama, tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi'i, Ahmad, dan Abu Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehinga tak boleh menyelisihinya. Zakat juga tidak lepas dari bagian ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wata'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebutkan dalam hadits.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Ucapan-ucapan Imam Syafi'i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang)." (al-Majmu': 5/401).
Abu Dawud rahimahullah mengatakan, "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya: 'bolehkan saya memberi uang dirham –yakni dalam zakat fitrah-?' beliau menjawab: 'saya khawatir tidak sah, menyelisihi sunnah Rasulullah'."
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, "Yang tampak dari Madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat (fitrah)." (al-Mughni, 4/295).
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahumullah. (lihat Fatawa Ramadlan, 2/918-928).
Pendapat Kedua, boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib ia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada beda antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Dan pendapat pertama itulah yang kuat.
Atas dasar itu, bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras, misalnya, untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara' dalam bentuk beras, bukan uang.
Namun, sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika hal itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau berkata, "boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun dan tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli kurma atau gandum terlebih dahulu. Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya." (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380).
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa (25/82-83), "yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh . . . . . karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka boleh jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi juga dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan. . . . Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa . . . ."
Ibnu Taimiyyah: "yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh." Pendapat ini dipilih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Tamamul Minnah.  (hal. 379-380).
Jika memilih pendapat ini, yang perlu diperhatikan, haruslah sangat memperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah (III/109) mengatakan, "Pada dasarnya mengeluarkan zakat fitrah harus berdasarkan nash yang ada. Tidak boleh diganti dengan harganya kecuali karena darurat, kebutuhan, atau mashlahat yang dominan. Apabila demikian maka boleh mengeluarkan dengan harganya."
Ukuran yang dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu, jelas sekali bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha'. Tapi berapa 1 sha' itu?
1 sha' sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 Mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang. Lalu berapa bila diukur dengan kilogram (Kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diperkirakan/ditaksir. Oleh karenanya, ulama pun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram. Dalam Shahih Fiqih Sunnah, 1 sha': 2, 157 Kg.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz memperkirakan 3 Kg. (Fatawa al-Lajnah, 9/371).
Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 Kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429).
Siapa penerima zakat fitrah?
Para ulama berselisih tentang siapa yang berhak menerima zakat fitrah dalam dua pendapat: Pertama, Zakat fitrah hanya diberikan kepada fuqara' dan orang-orang miskin berdasarkan nash yang menyebutkan tentang hikmahnya, "Dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin." Dan penyebutan secara khusus ini menjadi dalil bahwa yang berhak menerima zakat fitrah adalah kaum miskin, bukan selain mereka. (Lihat Ithaf al-Kiram, ta'liq atas Bulughul Maram, Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri: 177)
Ini adalah pendapat Malikiyah dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa: 25/72.
Kedua, penerima zakat fitrah adalah delapan golongan penerima zakat. Ini adalah pendapat jumhur ulama, kecuali Malikiyah. Di antara alasannya, disebutkannya sebagaian ashnaf (penerima zakat), tidak berarti menghususkan pada mereka saja.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat pertama, demikian menurut pengarang Shahih Fiqih Sunnah. Alasannya, karena selaras dengan disyariatkannya zakat fitrah, yaitu sebagai "makanan bagi orang-orang miskin."
Alasan lainnya, karena zakat fitrah serupa dengan kafarah. Yakni sebagai penebus atas kekurangan dan aib dalam pelaksanaan ibadah shiyam. Karenanya, tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Wallahu Ta'ala A'lam.

Hukum Membaca Al-Qur'an Saat Haid


Pertanyaan:
Assalamu 'Alaikum . .
Bagaimana hukum baca Al-Qur'an saat haid?
085735615xxx
_____________________________________________
Jawaban:
Oleh: Badrul Tamam
Wa'alaikum Salam Warahmatullah . .
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah, keluarga dan sahabatnya.
Penanya yang mulia! Di bulan Ramadhan Mubarak ini, semangat membaca Al-Qur'an umat Islam harus meningkat. Karena bulan Ramadhan ini disebut sebagai Syahrul Qur'an, bulan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melalui Malaikat Jibril pada bulan Ramadhan. Juga pada bulan ini, Malaikat Jibril mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an beliau dan mengecek hafalannya.
Perhatian besar dari ulama salaf terhadap Al-Qur'an bisa menjadi bukti bahwa qira'atul Qur'an pada bulan ini memiliki keistimewaan tersendiri. Mereka telah memperbanyak tilawah Qur'an baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
Pada bulan Ramadhan, Utsman bin Affan radliyallah 'anhu menghatamkan Al-Qur'an sehari sekali. Sebagian ulama salaf yang lain menghatamkannya pada shalat  malamnya setiap tiga hari sekali. Sebagian lain menghatamkannya semingu sekali.
Imam Syafi'i rahimahullah, pada bulan Ramadhan menghatamkan Al-Qur'an sampai 60 kali di luar shalat. Imam Qatadah senantiasa menghatamkan setiap tujuh hari sekali dan pada bulan Ramadhan setiap tiga hari sekali. Puncaknya pada sepuluh hari terakhir, beliau menghatamkannya setiap malam.
Imam Az-Zuhri rahimahullah jika sudah memasuki Ramadhan tidak membaca hadits dan tidak hadir di majlis ilmu, beliau hanya membaca Al-Qur'an dari mushaf. Sufyan Al-Tsauri jika sudah masuk Ramadhan meninggalkan segala bentuk ibadah dan hanya membaca Al-Qur'an.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "(Maksud) adanya larangan membaca Al-Qur'an (menghatamkannya) kurang dari tiga hari yaitu jika dirutinkan tiap hari. Namun, jika di kesempatan yang utama seperti bulan Ramadhan dan tempat yang mulia seperti di Makkah bagi penduduk luar Makkah, dianjurkan memperbanyak tilawah Al-Qur'an di sana, untuk menghargai kemuliaan tempat dan waktu tersebut. Ini adalah pendapat imam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam lainya. Hal ini didukung dengan amalan selain mereka."
Bagaimana dengan wanita haid?
Tentunya semangat ini juga layak dimiliki seorang wanita muslimah. Dia berhak mendapat keutamaan dan kemuliaan melalui Al-Qur'an. Dia harus berlomba memperbanyak membaca Al-Qur'an dan sesering mungkin menghatamkannya pada bulan barakah ini. Namun, ada satu kendala bagi kaum hawa ini dengan ketetapan yang Allah tulis atas mereka, yaitu mendapat tamu bulanan. Bolehkah mereka tetap membaca Al-Qur'an untuk mendapat keberkahan yang lebih, khususnya pada bulan Ramadlan?
Memang mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan hadits,
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
"Orang yang junub dan wanita haid tidak boleh membaca Al-Qur'an sedikitpun."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Adapun orang junub dan haid untuk membaca Al-Qur'an, maka di kalangan ulama terdapat tiga pendapat:
Sebagiannya membolehkan bagi orang ini dan itu. Ini adalah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madhab Imam Syafi'i dan Ahmad. Sebagian yang lain tidak membolehkan bagi orang junub dan boleh bagi wanita haid, baik secara bebas atau karena takut lupa hafalannya. Ini adalah madhab Malik dan sebagian pendapat madhab Ahmad dan lainnya.
Hadits berkaitan dengan wanita haid membaca Al-Qur'an hanya satu riwayat saja. Yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ismail bin 'Ayyasy, dari Musa bin Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar;
لَا تَقْرَأْ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْئًا
"Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca Al-Qur'an sama sekali." (HR. Abu Dawud dan lainnya) ini merupakan hadits dhaif berdasarkan kesepakatan ulama ahli hadits. Haidts Yang diriwayatkan dari Ismail bin 'Ayyasy oleh Hijaziyyin (orang-orang Hijaz) adalah hadits lemah berbeda kalau yang meriwayatkan adalah Syamiyyin (orang-orang Syam). Dan tak seorangpun perawi yang tsiqah (terpercaya) telah meriwayatkan hadits ini dari Nafi'.
Bahwa sesuatu yang maklum, para wanita sudah mengalami haid pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun beliau tidak pernah melarang mereka membaca Al-Qur'an, sebagaimana beliau tidak pernah melarang mereka dari berzikir dan berdoa. Bahkan beliau memerintahkan para wanita haid agar keluar pada shalat Ied, lalu mereka bertakbir seperti takbirnya kaum muslimin yang lain.
Beliau juga memerintahkan wanita haid agar tetap melaksanakan ritual haji kecuali Thawaf di Ka'bah, dia membaca kalimat talbiyah di Muzdalifah, Mina, dan tempat-tempat masya'ir lainnya dalam kondisi haid.
Adapun orang Junub, beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak memerintahkannya agar menyaksikan shalat Ied, tidak pula shalat dan melaksanakan manasik haji. Karena orang junub memungkinkan untuk bersuci, karenanya tidak ada udzur baginya dalam meninggalkan thaharah (bersuci). Hal ini berbeda dengan wanita haid, karena hadats tetap ada pada dirinya yang tidak mungkin melakukan thaharah dengan kondisinya itu. Karena itulah, para ulama menyebutkan bahwa orang junub tidak boleh berdiam di Arafah (untuk wukuf), Muzdalifah dan Mina sehingga mereka bersuci, walaupun suci tidak menjadi syarat dari semua itu. Tetapi maksudnya, pembuat syariat memerintahkan wanita haid untuk berzikir kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, baik dalam bentuk wajib atau sunnah. Namun, bagi orang junub dimakruhkan malakukan semua itu.
Dari sini diketahui, bahwa wanita haid diberi keringanan yang tidak diberikan kepada orang junub, karena sebab udzur. Begitu juga berkaitan dengan membaca Al-Qur'an, maka Syari' (Allah) tidak melarang wanita haid dari membacanya. Wallahu a'lam.

Muhammadiyah Tetapkan Kalender Hijriyah Hingga 500 Tahun Ke Depan


JAKARTA (VoA-Islam) – Pelaksanaan sidang isbat penetapan 1 Syawal 1433 H pada 18 Agustus nanti bakal kembali kurang lengkap. Seperti saat penetapan 1 Ramadan 1433 H lalu, salah satu ormas Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, sudah memastikan tidak akan hadir.

“Sudah tegas dalam surat keputusan PP Muhammadiyah, kami tidak ikut sidang isbat selama 2012,’’ kata Pengurus Pustaka dan Informasi Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya. Selain itu mereka juga tidak akan mengikuti sidang isbat penetapan 10 Dzulhijjah 1433 H (Idul Adha).“Meskipun diundang, bukan berarti wajib datang kan,’’ lanjut Mustofa.

Alasan sikap PP Muhammadiyah tidak mengikuti rangkaian sidang Isbat tahun ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pola atau sistem penetapan kalender hijriyah sendiri. Yaitu dengan menggunakan metode hisab.

Mustofa menuturkan, dengan metode hisab tersebut, PP Muhammadiyah sudah memiliki jadwal pasti tentang penetapan kalender hijriyah hingga 500 tahun ke depan. Mulai dari penetapan awal puasa, Lebaran, hingga Idul Adha, mereka sudah memiliki catatannya untuk beberapa tahun ke depan.

Menurut Mustofa, terbitnya maklumat PP Muhammadiyah tentang penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah bukan berarti mereka setiap saat melakukan hisab. ’’Maklumat itu hanya untuk mengingatkan saja. Untuk hisabnya kita sudah lakukan jauh sebelumnya,’’ kata dia.

Alasan lain yang dilontarkan PP Muhammadiyah yang memilih tidak ikut sidang isbat adalah untuk menghindari pertentangan di dalam persidangan. Menurut Mustofa, jika Muhammadiyah ikut sidang isbat kemungkinan besar perdebatan tentang penetapan hari besar dalam kalenderi Islam bisa tambah memanas.

Seperti diketahui, sidang isbat penetapan 1 Ramadan lalu yang tanpa Muhammadiyah pun memang sudah ramai. Sebab, ada ormas yang sepakat dengan Muhammadiyah mengenai waktu dimulainya puasa yang berbeda sehari dengan keputusan akhir sidang isbat.

Mustofa khawatir, jika mereka ikut, perdebatan di dalam sidang isbat tambah sengit dan bisa berujung pada saling menyalahkan. ’’Jika sudah saling tuding siapa yang benar dan siapa yang salah, justru tidak baik dilihat umat,’’ katanya.

Mustofa menegaskan kalaupun nanti ada perbedaan dalam penetapan 1 Syawal tidak perlu dipersoalkan.’’Pelangi itu indah karena berbeda,’’ katanya bertamsil.

Terkait kepastian Muhammadiyah untuk kembali tidak hadir tersebut, Ketua Umum Tanfidziyah PB NU Said Aqil Siroj sangat menyayangkannya. ”Tidak beradab itu, tidak mutamaddin, diundang sidang isbat kok tidak mau,” sesal Said Aqil, saat ditemui di kantor PB NU, Jl. Kramat Raya, Jakarta, kemarin (11/8).

Menurut dia, Muhammadiyah seharusnya datang karena pihak pengundang adalah pemerintah yang sah. Terlebih lagi, mereka diajak untuk membicarakan sesuatu yang baik terkait masalah umat. ”Ini bukan diajak bicara untuk korupsi, atau bukan juga mengajak untuk korupsi,” imbuhnya.

Pada Malam Keberapakah Lailatul Qadar Itu?


Oleh: Badrul Tamam          
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Mendapatkan Lailatul Qadar menjadi dambaan insan beriman, karena di dalamnya Allah turunkan rahmat dan keberkahan. Amal-amal ibadah dan shaleh yang dikerjakan di dalamnya, nilainya lebih baik daripada amal-amal tersebut dikerjakan selama seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar di dalamnya.
Di Lailatul Qadar tersebut, para malaikat turun ke bumi. Ada yang mengatakan mereka turun dengan membawa rahmat, keberkahan dan ketentraman bagi manusia. Ada yang berpendapat, mereka turun membawa semua urusan yang ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk masa satu tahun. Sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.  Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul." (QS. Al-Dukhan: 3-5)
Pada malam itu keamaan dan keselamatan menyatu dalam diri orang-orang beriman, dan mereka mendapatkan salam terus menerus dari para Malaikat. Para ahli ibadah merasakan ketentraman hati, lapangnya dada, dan lezatnya beribadah di malam istimewa itu yang tak pernah di dapatkan pada malam-malam selainnya.
Lailatul Qadar adalah malam yang terbebas dari keburukan dan kerusakan. Pada malam itu pula banyak dilaksanakan ketaatan dan perbuatan baik. Pada malam itu penuh dengan keselamatan dari adzab. Sedangkan syetan tidak bisa menggoda sebagaimana keberhasilannya pada selain malam itu, maka malam itu seluruhnya berisi keselamatan dan kesejahteraan. Firman Allah Ta'ala:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 5)
Kapankah Lailatul Qadar Itu?
Tidak diragukan lagi, Lailatul Qadar terdapat pada bulan Ramadhan, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
"Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah: 185)
Al-Hafidh Ibnul Hajar rahimahullah mengatakan tentang penentuan malamnya, "Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan Lailatul Qadar dengan perbedaan yang sangat banyak. Setelah kami himpun, ternyata pendapat mereka mencapai lebih dari empat puluh pendapat." Kemudian beliau rahimahullah satu persatu dari pendapat tersebut beserta dalil-dalilnya. (Lihat Fathul Baari: IV/309)
Mayoritas ulama berpendapat, Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, berdasarkan hadits 'Asiyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)
Dari sepuluh hari terakhir itu, mayoritas ulama mengerucutkan pendapatnya pada malam-malam ganjilnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)
Demikian juga banyak dari mereka berpendapat, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27 Ramadhan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, seperti Ubay bin Ka'ab yang beliau sampai berani memastikan dan bersumpah bahwa Lailatul Qadar ada pada malam ke 27, ia berkata:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا وَأَكْثَرُ عِلْمِي هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
"Demi Allah, sunguh aku mengetahuinya dan kebanyakan pengetahuanku bahwa dia adalah malam yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam perintahkan kami untuk bangun (shalat) padanya, yaitu malam ke 27." (HR. Muslim, no. 762)
Dan dalam hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda tentang Lailatul Qadar,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
"Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh tujuh." (HR. Abu Dawud)
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja. Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27, ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:
إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ
"Sungguh aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya. Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."
Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)
Demikian kumpulan hadits yang menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram (Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke 21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23, maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang banyak dalam penetapannya."
Hikmah Dirahasiakannya Lailatul Qadar     
Keberadaan Lailatul Qadar dirahasiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hikmah yang dikehendaki-Nya. Yaitu (boleh jadi) agar para hamba bersungguh-sungguh beribadah di setiap malam, dengan harapan agar mendapatkan Lailatul Qadar. Bagi siapa yang meyakini bahwa Lailatul Qadar ada pada malam tertentu, maka ia akan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah. Dan bagi siapa yang ingin memastikan dirinya mendapatkan malam tersebut, hendaknya ia mencurahkan semua waktunya untuk beribadah kepada-Nya sepanjang bulan Ramadhan sebagai bentuk syukur kepada-Nya dan membenarkan janji-Nya. Insya Allah, inilah hikmah utama dirahasiakannya Lailatul Qadar. Dan inilah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ وَإِنَّهَا رُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
"Sesungguhnya aku telah keluar untuk memberitahu kepada kalian (kapan Lailatul Qadar itu). Tetapi (di tengah jalan) aku bertemu dengan fulan dan fulan yang sedang bertengkar, sehingga aku terlupa kapan malam itu. Semoga ini lebih baik bagi kalian. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada (malam) kesembilan, ketujuh, dan kelima (dari sepuluh hari terakhir)." (HR. al-Bukhari)
Penutup
Insan beriman pasti meyakini setiap kabar berita yang disampaikan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Keyakinan tersebut tidak hanya pada pembenaran, tapi ia realisasikan dalam bentuk tunduk dan taat kepada petunjuk keduanya. Begitu juga terhadap kabar berita tentang Lailatul Qadar, sebagai bentuk pembenarannya, ia bersungguh-sungguh menghidupakannya agar mendapatkan janji-janji baik di dalamnya.
Lailatul Qadar merupakan anugerah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Itu diberikan agar mereka bisa mengejar ketertinggalan dari pahala-pahala dan kebaikan yang luput darinya, dan juga untuk menghapus kesalahan dan dosa-dosa dalam perjalanan hidupnya. Allah sayang kepada kita, hamba-Nya yang beriman, akankah kita juga sayang kepada diri kita sendiri dengan mencari dan memanfaatkan malam yang mulia itu? Wallahu Ta'ala A'lam.

Apa yang Harus Dilakukan Saat Lailatul Qadar?


Oleh: Badrul Tamam          
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Lailatul Qadar adalah malam rahmat dan keberkahan. Amal-amal ibadah dan kebaikan yang dikerjakan di dalamnya nilainya lebih baik daripada amal-amal tersebut dikerjakan selama seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar di dalamnya. Karenanya setiap muslim wajib bersungguh-sungguh mendapatkannya.
Kapankah Lailatul Qadar Itu?
Tidak diragukan lagi, Lailatul Qadar terdapat pada bulan Ramadhan, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
"Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah: 185)
Al-Hafidh Ibnul Hajar rahimahullah mengatakan tentang penentuan malamnya, "Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan Lailatul Qadar dengan perbedaan yang sangat banyak. Setelah kami himpun, ternyata pendapat mereka mencapai lebih dari empat puluh pendapat." Kemudian beliau rahimahullah satu persatu dari pendapat tersebut beserta dalil-dalilnya. (Lihat Fathul Baari: IV/309)
Mayoritas ulama berpendapat, Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, berdasarkan hadits 'Asiyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)
Dari sepuluh hari terakhir itu, mayoritas ulama mengerucutkan pendapatnya pada malam-malam ganjilnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)
Demikian juga banyak dari mereka berpendapat, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27 Ramadhan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, seperti Ubay bin Ka'ab yang beliau sampai berani memastikan dan bersumpah bahwa Lailatul Qadar ada pada malam ke 27, ia berkata:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا وَأَكْثَرُ عِلْمِي هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
"Demi Allah, sunguh aku mengetahuinya dan kebanyakan pengetahuanku bahwa dia adalah malam yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam perintahkan kami untuk bangun (shalat) padanya, yaitu malam ke 27." (HR. Muslim, no. 762)
Dan dalam hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda tentang Lailatul Qadar,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
"Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh tujuh." (HR. Abu Dawud)
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja. Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27, ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:
إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ
"Sungguh aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya. Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."
Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)
Demikian kumpulan hadits yang menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram (Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke 21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23, maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang banyak dalam penetapannya."  
Bagaimana Seorang Muslim Mencari Lailatul Qadar?
Lailatul Qadar adalah malam kebaikan, yang kebaikan di dalamnya tak bisa didapatkan pada malam selainnya. Maka siapa yang terhalang dari mendapatkan kebaikan di dalamnya, berarti ia telah terhalang mendapatkan semua kebaikan. Dan tidak terhalang dari mendapatkan kebaikannya, kecuali orang yang diharamkan dirinya dari kebaikan. Oleh karena, itu sudah sewajarnya seorang muslim bersungguh-sungguh mancari malam tersebut dan menghidupkannya dengan melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah secara maksimal. Dan menghidupkannya harus didasarkan kepada iman dan berharap pahala kepada Allah. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesungguhan dalam mencari Lailatul Qadar ini telah dimulai sendiri oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang mengabarkan hadits di atas. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh (pad sepuluh hari terakhir) yang tidak biasa beliau lakukan pada malam-malam sebelumnya." (HR. Muslim)
Hendaknya seorang muslim memperbanyak shalat, tilawatul Qur'an, shadaqah, dzikir dan doa di dalamnya. Dianjurkan juga untuk menjauhi istri untuk memaksimalkan ibadah di malam itu, serta membangunkan keluarganya untuk ikut menghidupkan malam kemuliaan tersebut. Dikabarkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'Anha,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ - أَيْ الْعَشْرُ الْأَخِيرَةُ مِنْ رَمَضَانَ - شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
"Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, apabila sudah masuk sepuluh –maksudnya sepuluh hari terakhir Ramadhan- beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya." (Muttafaq 'alaih)
Berdoa Pada Lailatul Qadar
Dianjurkan untuk membanyak doa pada malam yang agung ini, Lailatul Qadar. Doa apa saja yang mengandung kebaikan dunia dan akhirat, dianjurkan untuk dimunajatkan kepada Allah di malam itu, karena ia termasuk waktu mustajab. Dan di antara doa khusus yang disyariatkan untuk dibaca di dalamnya adalah apa yang diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, ia berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca?" Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemaaf dan senang memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku." (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Imam al-Tirmidzi dan al-Hakim menshahihkannya)
Penutup
Insan beriman pasti meyakini setiap kabar berita yang disampaikan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Keyakinan tersebut tidak hanya pada pembenaran, tapi ia realisasikan dalam bentuk tunduk dan taat kepada petunjuk keduanya. Begitu juga terhadap kabar berita tentang Lailatul Qadar, sebagai bentuk pembenarannya, ia bersungguh-sungguh menghidupakannya agar mendapatkan janji-janji baik di dalamnya.
Lailatul Qadar merupakan anugerah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Itu diberikan agar mereka bisa mengejar ketertinggalan dari pahala-pahala dan kebaikan yang luput darinya, dan juga untuk menghapus kesalahan dan dosa-dosa dalam perjalanan hidupnya. Allah sayang kepada kita, hamba-Nya yang beriman, akankah kita juga sayang kepada diri kita sendiri dengan mencari dan memanfaatkan malam yang mulia itu? Wallahu Ta'ala A'lam.

Doa Istimewa di Malam Lailatul Qadar


Oleh: Badarul Tamam

اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Allahumma Innaka 'Afuwwun, Tuhibbul 'Afwa, Fa'fu 'Anni
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemaaf dan senang memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku."
_____________________________________________________
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulillah, keluarga dan para sahabatnya.
Doa di atas adalah doa yang berkaitan dengan sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan punya kaitan dengan Lailatul Qadar. Doa tersebut menjadi sangat istimewa karena diajarkan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam istri tercinta beliau, ummul mukminin 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Yaitu saat 'Aisyah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang harus aku baca?" kemudian Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemaaf dan senang memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku." (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Imam al-Tirmidzi dan al-Hakim menshahihkannya)
Nama Allah "Al-'Afuww" Dalam Al-Qur'an
Nama Allah "Al-'Afuww" disebutkan lima kali dalam Al-Qur'an. Pertama, disebutkan bersama nama-Nya "Al-Qadir".
إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا
"Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. Al-Nisa': 149) terkadang seseorang memaafkan kesalahan orang lain karena dia tidak mampu membalas atas keburukannya. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan, Dia memaafkan, padahal Dia kuasa membalas keburukan (dosa) hamba. Maka ini adalah pemberian maaf yang sebenarnya dan sangat istimewa.
Kedua, penyebutan nama al'Afuww yang lainnya digandeng dengan nama-Nya "Al-Ghafur".
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
 "Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Nisa': 43)
فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
"Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya.  Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Nisa': 99)
Ayat-ayat yang menyebutkan nama Allah "Al-'Afuww" yang memiliki sifat pemberi maaf, sesungguhnya menunjukkan bahwa Allah senantiasa dikenal bersifat pemaaf. Senantiasa mengampuni dan memberi maaf kepada hamba-hamba-Nya, walau mereka sering berdosa kepada-Nya. Dan mereka sangat berhajat kepada maaf-Nya sebagaimana mereka berhajat kepada rahmat dan kemurahan-Nya. Bahkan bisa dikatakan, kebutuhan mereka kepada maaf Allah lebih daripada kebutuhan mereka kepada makan dan minum. Kenapa? Karena kalau tidak memberikan maaf kepada penduduk bumi, niscaya hancur dan binasalah mereka semua dengan dosa-dosa mereka.
Sifat maaf Allah adalah maaf yang lengkap, lebih luas dari dosa-dosa yang dilakukan hamba-Nya. Apalagi kalau mereka datang dengan istighfar, taubat, iman, dan amal-amal shalih yang menjadi sarana untuk mendapatkan maaf Allah. Sesungguhnya tidak ada yang bisa menerima taubat para hamba dan memaafkan kesalahan mereka dengan sempurna kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna Nama Allah "Al-Afuww"
Kalimat 'afaa, secara bahasa –sebagaimana yang disebutkan dalam kamus- memiliki dua makna: Pertama, memberi dengan penuh kerelaan. Ini seperti kalimat, "A'thaituhu min maali 'afwan", maknanya: aku beri dia sebagian dari hartaku yang berharga dengan penuh kerelaan tanpa diminta. Ini seperti firman Allah Ta'ala:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
"Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan"." (QS. Al-Baqarah: 219) sehingga itu dikeluarkan dengan penuh keridhaan. Wallahu a'lam.
Kedua, al-izalah (menghilangkan/menghapus). Seperti kalimat, "'Afatir riihu al-atsara" artinya: angin telah menghilangkan/menghapus jejak. Contoh nyata terdapat dalam catatan sirah nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam) tentang perjalanan hijrah: Saat beliau bersembunyi di goa Tsur bersama Abu Bakar, adalah Asma' binti Abu Bakar membawakan makanan untuk keduanya. Maka terdapat dalam catatan:  
فأمر غلامه أن يعفوآثار أقدام أسماء حتى لا يعرف الكفار طريق النبي
"Maka ia memerintahkan budaknya agar menghilangkan/menghapus jejak kaki Asma' sehingga orang-orang kafir tidak tahu jalur yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam."
Maka ada tiga kandungan dalam nama Allah "Al-'Afuww' ini: Menghilangkan dan menghapuskan, lalu ridha, kemudian memberi. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menghilangkan, menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya dan bekas dosa tersebut. Lalu Allah meridhai mereka. Kemudian sesudah meridhai, Dia memberi yang terbaik (maaf) tanpa mereka memintanya.
Perbedaan antara al'Afuww (Mahapemaaf) dan al-Ghaffar (Mahapengampun)
Supaya kita bisa merasakan keistimewaan nama Allah al-'Afuww (Mahapemaaf) dengan sebenarnya, maka kita ketahui perbedaan antara dia dengan al-Ghaffar. Pada dasarnya, semua nama Allah adalah sangat baik. Tapi al-'Afuww itu memiliki makna lebih dalam daripada maghfirah. Karena maghfirah, adalah ampunan dosa namun dosa itu masih ada. Dosa tersebut ditutupi oleh Allah di dunia dan di akhirat nanti juga ditutupi dari pandangan makhluk. Sehingga Allah tidak menyiksa seseorang dengan dosa tersebut, tapi dosa itu masih ada.
Adapun maaf, maka dosa yang dilakukan hamba sudah tidak ada. Kayak-kayaknya ia tidak pernah melakukan kesalahan. Karena dosa itu telah dihilangkan dan dihapuskan sehingga bekasnya tidak lagi terlihat. Dari sisi ini, pemberian maaf lebih istimewa.
Boleh jadi seseorang melakkan dosa-dosa keculi, ia tidak banyak ibadah di Lailatul Qadar atau tidak mendapatkannya, maka ia datang di hari kiamat akan mendapati Allah sebagai Mahapengampun. Namun nanti dosa-dosa itu akan ditampakkan dan disuruh ia mengakuinya. Berbeda dengan yang -boleh jadi- melakukan dosa besar, lalu ia bertaubat, giat ibadah di Lailatul Qadar sehingga mendapatkannya, maka di hari kiamat ia memperoleh maaf. Maka Allah Mahapemaaf tidak lagi menyebutkan kesalahan-kesalahannya, karena sudah dihapuskan. Adapun al-Ghafur (Mahapengampun), terkadang dosanya masih disebut dan dinampakkan, namun Dia tidak menyiksa/menghukum karenanya.
Perbedaan keduanya, terlihat jelas dalam dua hadits berikut ini: Pertama, hadits tentang datangnya seorang hamba pada hari kiamat, lalu Allah Tabarakan wa Ta'ala berfirman kepadanya: "Wahai hamba-Ku, mendekatlah!" Maka hamba tadi mendekat. Lalu Allah menurunkan tabir penutup atasnya, dan bertanya padanya: "Apakah kamu ingat dosa ini? Apakah kamu ingat dosa itu?" -Dan ini menunjukkan bahwa bekas dosa itu masih ada dalam catatan amal-. Lalu hamba tadi menjawab, "Ya, masih ingat wahai Rabb." Hamba tadi mengira akan binasa. Lalu Allah berfirman padanya: "Aku telah tutupi dosa itu atasmu di dunia, dan hari ini Aku beri ampunan atas dosa itu untukmu." Ini adalah maghfirah.
Sedangkan al-'afuww (pemaafan atas dosa), maka Allah akan berfirman pada hari kiamat kepada seseorang yang telah dimaafkan-Nya, "Wahai fulan, Sesungguhnya aku telah ridha kepadamu karena perbuatanmu di dunia, Aku telah ridha kepadamu dan memaafkanmu, maka pergilah dan masuklah ke dalam surga."
Al-afuww adalah apa yang didapatkan hamba pada hari kiamat, saat Allah berfirman kepadanya: Wahai hambaku, berangan-anganlah dan berkeinginanlah, maka sungguh Aku telah mengampunimu." Maka tidaklah engkau berangan-angan terhadap sesuatu kecuali aku berikan kepadamu itu." Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Tanda Malam Itu Lailatul Qadar


Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, rabb semesta alam. Shalawat dan salam terlimpah dan tercurah kepada manusia pilihan, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Lailatul Qadar adalah malam yang agung. Malam penuh kemuliaan. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Siapa yang mendapatkan kemuliaannya sungguh ia manusia beruntung dan dirahmati. Sebaliknya, siapa yang luput dari kebaikan di dalamnya, sungguh ia termasuk manusia buntung dan merugi.
Kemuliaan Lailatul Qadar yang penuh keberkahan dapat dilihat dari pilihan Allah terhadapnya untuk menurunkan kitab terbaik-Nya dan syariat agama-Nya yang paling mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 1-5)
Sesungguhnya Lailatul Qadar tidak seperti malam-malam selainnya. Pahala amal shalih di dalamnya sangat besar. Maka siapa yang diharamkan mendapatkan pahalanya, sungguh  ia tidak mendapatkan kebaikan malam itu. Oleh karenanya, sudah sewajarnya seorang muslim menghidupkan malam tersebut dengan bersungguh-sungguh melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah secara maksimal. Dan menghidupkannya harus didasarkan kepada iman dan berharap pahala kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dalam hadits shahih:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam redaksi lain,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan tentang waktu turunnya Lailatul Qadar tersebut. Beliau bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)
Lalu beliau menjelaskan lebih rinci lagi tentang waktunya dalam sabdanya,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)
Yaitu malam-malam ganjil dari bulan Ramadhan secara hakiki. Yakni malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Lalu sebagian ulama merajihkan (menguatkan), Lailatul Qadar berpiindah-pindah dari dari satu malam ke malam ganjil lainnya pada setiap tahunnya. Lailatul Qadar tidak melulu pada satu malam tertentu pada setiap tahunnya.
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: "Ini adalah yang zahir dan terpilih karena bertentangan hadits-hadits shahih dalam masalah itu. tidak ada jalan untuk menjama' (mengompromikan) di antara dalil-dalil tersebut kecuali dengan intiqal (berpindah-pindah)-nya."
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja. Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27, ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:
إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ
"Sungguh aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya. Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."
Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)
Demikian kumpulan hadits yang menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram (Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke 21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23, maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang banyak dalam penetapannya."
Tanda-tanda Lailatul Qadar
Disebutkan juga oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah bahwa Lailatul Qadar memiliki beberapa tanda-tanda yang mengiringinya dan tanda-tanda yang datang kemudian.
Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar:
  1. Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari cahaya.
  2. Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang didapatkannya pada malam-malam selainnya.
  3. Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.
  4. Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.
  5. Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.
Tanda-tanda yang mengikutinya:
Matahari akan terbit pada pagi harinya tidak membuat silau, sinarnya bersih tidak seperti hari-hari biasa. Hal itu ditunjukkan oleh hadits Ubai bin Ka'b radliyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan kepada kami: "Matahari terbit pada hari itu tidak membuat silau." (HR. Muslim)          
Penutup
Siapa yang merindukan Lailatul Qadar hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam sisa hari Ramadhan ini, khususnya di sepuluh hari terakhirnya. Semoga satu dari sepuluh malam terakhir yang kita hidupkan tersebut salah satunya adalah Lailatul Qadar. Sehingga kita mendapatkan pahala dan ganjaran yang besar. Selain itu, ini kesungguhan ini adalah bentuk iqtida' (mengikuti dna mencontoh) Nabi al-musthafa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. kita juga memperbanyak doa dan pengharapan kepada-Nya untuk kebaikan diri kita, keluarga, dan kaum muslimin secara keseluruhan. Amiin! [PurWD/voa-islam.com]