Sabtu, 10 November 2012

Tokoh Homo Jadi Calon Komisioner Komnas HAM




Sesuai pasal 28J UUD 1945, pelaksanaan HAM harus menghormati nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama
SITUS detik.com, Senin (03/09/2012), menurunkan sebuah berita berjudul “Selangkah Lagi, Tokoh Gay Hingga Dokter Jadi Komisioner Komnas HAM”.  Disebutkan, bahwa DPR akan menyeleksi 30 nama untuk disaring sehingga menjadi 11 anggota komisioner Komnas HAM yang baru.  Dari 30 nama tersebut, terdapat nama Dede Oetomo, aktivis dan tokoh gay Indonesia yang ikut bersaing mempebutkan kursi pembela HAM ini.
Menurut Detik.com,  bagi kalangan homo (gay) nama Dede Oetomo mungkin tak asing. Pendiri organisasi Gaya Nusantara yang berjuang untuk kalangan homoseksual telah merintis organisasi homoseksual itu sejak tahun 80-an. Dede Oetomo lahir pada Desember 1953 dan memulai kariernya sebagai dosen di Universitas Airlangga, Surabaya. Sepulangnya dari kuliah Amerika Serikat untuk pendidikan doktor linguistik, dia memulai kampanye kepada publik tentang identitas diri dan orientasi seksual secara terbuka.
“Dede selalu menganggap bahwa Gay, Lesbian dan Waria mempunyai kesetaraan yang sama, kendati hal tersebut masih dianggap tabu di mayorias masyarakat Indonesia. Usahanya memperjuangkan kaum ‘terpinggirkan’ tidak sia-sia. Pada tahun 1998 dia menerima penghargaan dari International Gay and Lesbian Human Rights Commision, yaitu Felipa de Souza Award,” tulis detik.com.
Lolosnya nama Dede Oetomo menjadi calon komisioner Komnas HAM cukup mengejutkan. Dalam sebuah wawancara (http://lembagabhinneka.org/2012/08/wawancara-dede-oetomo-soe-tjen-marching), Dede Oetomo mengaku, bahwa ia mencalonkan diri sebagai komisioner Komnas HAM karena didorong oleh kawan-kawannya pejuang dan pendidik HAM, baik yang umum maupun yang berkaitan dengan hak-hak berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. “Dari muda aku memang peduli pada membangun Indonesia dan dunia yang lebih baik. Kesempatan ini aku rasa tepat untuk aku pada titik waktu sekarang ini,” ujarnya.
Dede juga menyatakan,  “Yang ultrakonservatif Islamis menentang kelolosanku, bahkan ada yang sudah mengutuk panitia seleksi yang Muslim dan mengatakan mereka calon penghuni neraka.”     Menurut Dede lebih jauh, mereka yang aktivis tentunya menghayati bahwa HAM itu universal, dan tampaknya mereka juga menganggap rekam-jejak pekerjaanku dalam 30 tahun-an terakhir OK. “Yang ultrakonservatif sudah bisa diduga tidak mengikuti perkembangan pemikiran yang cerdas, dan keluar dengan pernyataan-pernyataan klise yang memang cenderung heteroseksis dan sektarian,” ujarnya lagi.
Dari pernyataan Dede Oetomo tersebut, kita bisa memahami, bahwa kaum homoseksual sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang terjadi pada diri mereka. Bahkan, kaum yang menentang praktik homo  diberi julukan  sebagai kaum yang konservatif dan sebagainya. Seorang pegiat homoseksual dan lesbianisme, Gadis Arivia, dalam sebuah artikelnya “Mempertanyakan Kembali Moral dn Homoseksualitas”, menulis:
“Ada kejanggalan di dalam masyarakat kita ketika mengotak-kotakan rasa kasih.  Masyarakat yang tadinya menjalin silahturahmi dengan orang sekitarnya bisa berubah seratus persen ketika mengetahui bahwa rasa kasih yang tadinya ia ulurkan, diterima oleh mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.  Rasa kasih berubah menjadi rasa benci.  Orang-orang yang demikian tidak mampu melihat manusia apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  Rasa benci atas dasar orientasi seksual sebenarnya bekerja sama sebangun dengan rasa benci atas dasar etnis tertentu, agama tertentu, dan jenis kelamin tertentu.  Tindakan diskriminatif terjadi ketika seseorang tidak dapat melihat hakekat manusia (yang sebenarnya sama esensinya) melainkan lebih melihat atribut manusia.”
Kaum homoseksual, lesbianisme (yang kini populer dengan istilah LGBT, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) tampaknya sedang menemukan momentum baru untuk melegalkan hubungan mereka, di tengah arus besar penetapan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Gerakan LGBT di dunia internasional semakin mendapat angin setelah ditetapkannya Piagam Prinsip-prinsip Yogyakarta tahun 2006.
Pada tahun 2006,  terjadi sebuah peristiwa penting di Indonesia, yakni berkumpulnya pakar-pakar Hak Asasi Manusia (Human rights) di kota Yogyakarta. Mereka menghasilkan sebuah Piagam Hak Asasi Manusia bertajuk “The Yogyakarta Principles: on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity.”
Piagam (Prinsip-prinsip) Yogyakarta ini diawali dengan ungkapan:  “All human beings are born free and equal in dignity and rights. All human rights are universal, interdependent, indivisible and interrelated. Sexual orientation and gender identity are integral to every person’s dignity and humanity and must not be the basis for discrimination or abuse.” (http://www.yogyakartaprinciples.org/principles_en.htm).
Sebuah kelompok pejuang kesetaraan gender dan LGBT di Indonesia, bernama Arus Pelangi, menerjemahkan kalimat pembuka Prinsip-prinsip Yogyakarta itu sebagai berikut: “Semua manusia terlahir merdeka dan sejajar dalam martabat dan hak-haknya. Semua manusia memiliki sifat universal, saling bergantung, tak dapat dibagi dan saling berhubungan. Orientasi seksual dan identitas gender bersifat menyatu dengan martabat dan kemanusiaan setiap orang serta tak boleh menjadi dasar bagi adanya diskriminasi ataupun kekerasan.”
Piagam Yogyakarta itu saat ini telah  menjadi pedoman bagi gerakan aktivis LGBT seluruh dunia. Di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) – lembaga resmi negara – telah melakukan sosialisasi terhadap Piagam tersebut.  Dalam sebuah analisisnya tentang gerakan LGBT, Komnas Perempuan menyebutkan:
”Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai contoh muncul di dalam FBI bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling berat. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT.  Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UU  Perkawinan  yang  tidak mengakui  perkawinan  sejenis.  Hal tersebut menyebabkan  advokasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara langsung oleh kelompok LGBT  karena  menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap kelompok LGBT secara frontal.” (Komisi Nasional Perempuan — Indonesia)
Karena sudah dimasukkan dalam agenda perjuangan HAM global, maka sedang terus diusahakan, bahwa siapa saja atau negara mana saja, yang masih menerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap kaum LGBT akan dimasukkan dalam kategori ”pelanggaran HAM”.   Seperti halnya tindakan ”rasisme” yang secara internasional dinyatakan sebagai suatu bentuk kejahatan, maka saat ini juga disosialisasikan istilah ”homofobia” sebagai suatu bentuk kejahatan, bahkan ditetapkan sebagai suatu penyakit jiwa (mental illness).
Setelah reformasi tahun 1998, sistem politik dan kenegaraan di Indonesia semakin liberal. Dalam amandemen (perubahan) Konstitusi Indonesia (UUD 1945), dimasukkan artikel-artikel yang secara khusus mewajibkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Kebebasan yang sangat luas di bidang pers juga telah memungkinkan propaganda yang sangat massif untuk menerima perkawinan sesama jenis. Yang lebih merusak adalah  propaganda sebagian kalangan liberal yang secara terus-menerus berusaha mengubah penafsiran al-Quran sehingga memungkinkan dihalalkannya perkawinan sesama jenis.
Semua jenis kebebasan dan usaha untuk menghalalkan perkawinan sesama jenis ini dilakukan dengan berlandaskan kepada Hak Asasi Manusia (HAM), di mana saja, termasuk di Indonesia. Kata mereka, hak perkawinan sesama jenis dilindungi oleh UUD 1945.
Misalnya, dikutip pasal 28 B UUD 1945: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Tetapi, para aktivis HAM liberal kadangkala mengabaikan pasal 28J UUD 1945: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Jadi, sesuai pasal 28J UUD 1945, pelaksanaan HAM harus menghormati nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama. Tentu saja, dalam pertimbangan Islam, perilaku homoseksual dan lesbianisme adalah tindakan kejahatan yang sangat berat. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki).
Ironisnya, dalam KUHP kita, tindakan homoseksual tidak dipandang sebagai satu bentuk kejahatan, kecuali bila dilakukan dengan anak-anak di bawah umur, atau belum dewasa.  Pasal 292 KUHP menyebutkan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling  lama lima tahun.”
Jadi, sesuai KUHP warisan penjajah itu, jika Dede Oetomo melakukan praktik homoseksual dengan laki-laki dewasa, dia terhindar dari jerat hukum pidana. Tetapi, jika melakukan praktik homoseksual dengan anak-anak, maka dia bisa dijerat dengan KUHP. Hanya saja, dari segi agama, tindakan homoseksual jelas-jelas tidak bisa dibenarkan. Dalam UU HAM, UU No.39/1999, masalah agama juga menjadi pertimbangan. Misalnya, pasal 50 UU HAM menyebutkan: “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.”
UU HAM juga ditetapkan dengan pertimbangan menjalankan prinsip ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa:  “Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.”
Dengan memperhatikan prinsip Ketuhanan dan ketaqwaan, sebenarnya sangatlah sebenarnya aneh jika seorang tokoh homo seperti Dede Oetomo bisa lolos sampai masuk tahap seleksi calon Komisioner Komnas HAM di DPR. Dengan logika sederhana kita bisa bertanya, apakah yang selama ini dipraktikkan oleh Dede Oetomo bersama pasangannya merupakan realisasi dari ketaqwaan kepada Tuhan? Apalagi, Dede Oetomo bukan hanya mempraktikkan, tetapi juga mengkampanyekan kehalalan perbuatan yang dikutuk oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Homoseksual dan lesbian adalah suatu penyakit yang seharusnya diobati. Homo dan lesbi sama sekali bukan fitrah manusia. Indonesia tidak sepatutnya mengikuti pemahaman HAM sekuler-liberal yang membuang agama dalam penentuan baik dan buruk. Karena itu, kita berharap, para anggota DPR yang akan menyeleksi Komisioner Komnas HAM memegang teguh prinsip keagamaan dan ketaqwaan.  Apalagi, dalam Islam, homoseksual dan lebsbianisme dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara.
Sungguh sulit kita bayangkan, apa jadinya negeri ini, jika – demi HAM — suatu ketika nanti seorang homo menjadi komandan upacara 17 Agustus di Istana Negara, apalagi menjadi panglima TNI? Wallahu a’lam bil-shawab.*/Jakarta, 14 September 2012
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

1 komentar:

  1. Hello Everybody,
    My name is Mrs Sharon Sim. I live in Singapore and i am a happy woman today? and i told my self that any lender that rescue my family from our poor situation, i will refer any person that is looking for loan to him, he gave me happiness to me and my family, i was in need of a loan of S$250,000.00 to start my life all over as i am a single mother with 3 kids I met this honest and GOD fearing man loan lender that help me with a loan of S$250,000.00 SG. Dollar, he is a GOD fearing man, if you are in need of loan and you will pay back the loan please contact him tell him that is Mrs Sharon, that refer you to him. contact Dr Purva Pius,via email:(urgentloan22@gmail.com) Thank you.

    BalasHapus